ARTI DARI ARTI

religion-3067050_960_720-1-696x385

Oleh : Mina Arafah

Dug .. dug .. dug ..

Suara rusuh yang tak asing lagi terdengar di subuh dini hari, atau tepat nya di subuh-subuh sebelum hari ini bahkan seterusnya setelah hari ini. Sudah ku prediksi akan seperti ini. Suara rusuh ini terlahir dari beribu-ribu hentakkan kaki yang berawal biasa saja menjadi hentakkan panik yang saling tak mau kalah. Dikarnakan jaros (bel) subuh sudah dibunyikan 1 menit lebih 38 detik. Jika 38 detik itu menjadi 60 detik maka tamat lah cerita usaha kami yang berlomba-lomba berlari semangat dari asrama lantai 2 hingga asrama lantai 4, dengan harapan penuh agar tidak telat. Tapi menurut pemikiran panjang ku, bukan suatu hal yang perlu di sesali. Karena dari sinilah aku belajar tentang pentingnya seorang santri memiliki jam jarum atau digital yang melingkar melilit sesuai ukuran lengan manusia yang berbeda-beda pastinya.

Tanpa waktu yang berputar dan selalu mengingatkanku tentang pentingnya berburu-buru dengan alasan baik menuju kebaikan dan lahirnya pelajaran asing yang ku pastikan taakan sama rasanya  dengan anak sekolahan di luar dan brarti bukan santri atau santriwati yang terjaga rapih dan baik serta terdidik di dalam pondok berpengalaman atau tidak, aku tidak akan bisa untuk datang tepat waktu di setiap apapun yang menghitung ketat.

Dari jarak 15 langkah kaki,

Sudah terlihat pengurus bagian pengajaran atau yang kita kenali dengan sebutan “ta’lim”. Sudah mengangkat tangan kanannya setinggi mungkin agar kita mampu melihat atau memprediksi detik ke berapa kita akan masuk dan menggelar sajadah untuk menghadap yang maha Esa, walau sebenarnya ada beberapa dari mereka yang tinggi nya tidak mencakup standar penglihatan kita, maka dari itu sering dari kita merasa kesal dengan mereka yang tak sampai tinggi nya, namun masih saja menghitung serius.     Kini jarinya telah terganti menjadi tiga jari tegapnya. Jika rasa panik jantung mampu terdengar juga, maka dengan begitu hadirlah dua suara gemuruh yang bersaut-sautan bahkan berbarengan. Yang berasal dari hentakan kaki, dan suara jantung panik penuh harapan kepastian, dan tak kalah pula keringat yang berlomba-lomba mengucur. Padahal sebelumnya kami semua sudah berdandan rapih agar enak dipandang saat sekolah yang jarak nya tidak terlalu lama dengan selesainya pelaksanaan shalat sunnah dhuha ini yang selalu kami kerjakan dengan keringat kucuran di setiap pagi sehabis halaqah tahfizh pagi atau tepatnya ba’da subuh. Sigap dan juga gesit sudah harus dimiliki setiap santri, agar mampu manyingkat waktu panjang menjadi sependek apapun itu. Point penting yang sangat harus melekat dikeseharian kita sebagai santri.

Detik ke 45 aku sudah masuk ke dalam qoah (aula),

Legah sudah rasanya, terhindar dari jegatan yang pasti oleh sang ta’lim berwajah seram yang tak henti-henti nya membuat getir ketakutan.

Namun sajadah ku belum mendapat lapak. Jadi aku mesti menunggu di pinggir dalam qoah, bukan hanya diriku saja namun bersama juga teman-teman ku yang lainnya, bahkan ada pula yang berbeda angkatan dariku. Ini adalah hal yang selalu terjadi di pagi dhuha, dikarnakan penyebab awalnya adalah, ukuran qoah yang belum juga diperbesar walau padahal jumlah santri sudah bukan standar ukuran qoah lagi. Maka dari itu, ini sudah menjadi kebiasaan yang biasa bagi ku dan sebagian santri yang juga merasakan hal yang sama seperti ku sekarang. Jadi, tak perlu mengeluh lemas kepada pemimpin atau para ustazah, agar melebarkan ukuran qoah agar kami semua mampu masuk ke dalam qoah dengan sempurna dan istilahnya nyukup.

‘qiyaman’ (berdiri).

Suara dari mikrofon sudah berbicara tegas, hadirnya suara tegas ini lagi-lagi dari ta’lim, karena hanya ta’lim lah yang bertanggung jawab atas diam dan berisiknya, tertib dan tidak tertib nya para santri yang berada didalam qoah ataupun tidak, intinya dalam majelis atau suatu perkelompokkan. Sebenarnya mereka juga bekerja sama dengan osis bagian keamanan yang tak kalah seram, keamanan pun hampir sama pekerjaannya dengan ta’lim, hanya saja keamanan lebih teliti dan lebih pada bidang seperti ukuran baju, memakai ciput atau tidak yang sudah menjadi kewajiban seluruh santri agar memakai nya, sirwal pula yang menjadi halal di pesantren, tujuannya agar tak masalah bila tersingkap di luar kesadaran. Dan pekerjaan kedua (ta’lim dan keamanan) bagian osis ini adalah pekerjaan yang bukan enteng, namun berat dengan perjanjian yang pasti dan serius.

 

 

Aku langsung berdiri,

Sebagai jawaban atas perintah sang ta’lim terhadap kami semua. Namun buruknya aku dan sebagian temanku yang ikut bersama juga, belum mendapat lapak untuk menggelar rapih sajadah. Dikarenakan kami lupa untuk mengetag (menandai/menempati) tempat agar kita mampu menghadap pada yang maha Esa dengan khusyuk dan setenang-tenang nya. Dan sisanya yang masih belum masuk ke qoah terjegat di antara qoah baru dan qoah lama. Ramainya pakai sekali. Dari raut wajah mereka tergambar antara penyesalan dan kesal yang sangat. Lisan-lisan yang masih mengoceh seru, selalu mengundang kembali lisan para ta’lim agar megoceh tegas dan mengundang emosi memuncak panas.

 

“kholas! Kholas! Uskud naa!”

(sudah! sudah! diam semua). Hening getir keringat dingin yang hadir tiba-tiba. Aku tak menghiraukan apa yang dibicarakan oleh sang ta’lim, dan aku malah masih mengoceh seru dengan teman di sampingku, mengenai ta’lim yang dari tadi bawel sekali dan selalu ingin di serbu bacot.

Tak lama aku berunding panas dengan kawan ku Ina, ada bentakkan hasil puncak marah sang ta’lim yang sedang kami berdua bicarakan. “ziyah! Ina! “ . sekat mat. Aku dan Ina di tegur seram. Lalu kami terdiam dengan hanya dalam hitungan detik. Aku mengeram takut tangan Ina. Langkah seram nya mendekat menghampiri ku dan Ina. “dari tadi dengar tidak? Bila disuruh diam, ya diam. Jika tidak bisa, keluar saja dari qoah!”. Ia berbisik pelan namun ada pesan tegas di kuping kiri ini. Keramanku semakin menjadi. Ina pun balik mengeram tanganku yang tak kalah dingin dari tangannya yang segera menyusul suhu dari tanganku.

Akhirnya shalat dhuha berakhir.

Dengan dihiasi kepanikan yang sangat. Ingatanku tentang kejadian tadi masih belum hilang. Sambil berpikir panik, aku melipat mukenah seperti sebagaimananya orang-orang melipat sesaat setelah melaksanakan pengahadapan terhadap yang maha Esa. Namun ada keunikan yang membedakan kami dengan kebiasaan orang lain. Ada penaruhan yang lebih baik serta rapih, dan kuharap ini mampu diterapkan di setiap masjid-masjid diluar sana. Kuimpikan nanti bila sempat umurku membangun masjid, akan kuatur sebagaimana rapih nya yang sudah diajarkan dalam pondok.  Menaruh lipatan mukenah dan sajadah dengan rapih di ‘misjab’ (hanger/gantungan) lalu di gantungkan di rak-rak mukenah sesuai angkatan, begitu pula dengan warna misjab nya, perangkatan dibedakan dengan warna-warna yang cepat di tangkap oleh mata saat awal di tampak. Tujuannya agar terlihat rapih pastinya dan terlihat pula angakatan mana yang rak mukenah ya tidak rapih, atau misjab nya yang tak sesuai warnanya. Jika melanggar maka mukenah akan disita dan wajib mengambilnya dengan denda seberat-beratnya.

Namun, sebelum menaruh mukenah,

Kita mesti melewati arus para santri yang langsung bubar berserakan. Bagai semut yang mengeremuni 1 butir gula secara bersama-sama, dan mampu juga diibaratkan bagai pertempuran antara orang-orang suci dan yang tidak, karena perbedaan penempatan qoah pada yang suci dan yang sedang mu’tadiroh (halangan). Kami desak-desakan bukan main. Tak melihat siapa yang ada di depan. Langsung kami mendorong dengan kekuatan yang sangat. Bersama juga lisan yang tak henti-henti berteriak. “dorong dorong”, yang bersaut-sautan lewat kuping kanan dan iri serta depan dan belakang. Jika sudah sepeti ini aku hanya bisa diam mengikuti arus dan membuat Ina yang lebih besar dari ku menjadi TAMENG pelindung ku. “dorong naa dorong”    “wehelah, maen dorong-dorong bae nih ana nya yang kedesek, susah napas nih” keluh nya ditengah-tengah kerumunan asli ini. Memang ini dalam keadaan desak-desak an, namun siapa yang betah jika keadaan benar-benar di buat serius dan hanya fokus pada ‘desak-desakan’, maka dari itu aku masih suka memperguraukan si Ina.

Dari sini lah, aku belajar,

Bila tanpa ada pembelaan atau pengalahan semua tidak akan berakhir bahagia, pasti ada peristiwa ganjil bukan mistis, tapi mengorbankan seseorang atau berorang-orang sekalipun. Seperti diriku sekarang, tiap pagi sebelum sekolah tanganku pasti sudah ada goresan-goresan benda tajam yang kuduga oleh-oleh dari desak-desakan tadi, ya memang benar karna darimana lagi? Goresan ini di akibatkan dari nametag (papan nama) para santri yang wajib dipakai kemana-mana agar mudah untuk mengenali, dan nametag ini pula bisa menjadi tanggungan para santri pada osis saat di iqob. Ini juga termasuk dalam kategori hal biasa bagiku dan juga para santri lainnya, maka dari itu tidak ada keluhan berlebih atas ini. Pikirku taapa bila harus berdesak-desakan bahkan harus luka berkali-kali di tangan atau atau dibagian lainnya. Asalkan aku tidak telat untuk masuk kelas dengan niat yang sudah kusiapkan selalu sebelum melangkah keluar kamar,dan ini termasuk salah satu pesan dan cara dari ustazah ku dahulu saat SMP. Beliau mengujar, “bila kalian merasa ngantuk saat sekolah, brarti kalian perlu meniatkan sekolah benar-benar untuk belajar dan mengambil segala hal positif dari sini “. Dan menyangka atau tidak, ketika aku benar-benar melakukan itu, kantuk berat yang sering kumat hilang setelah kuusapkan niat tersebut di kantong mataku, pesan yang sangat bermakna hingga sekarang dan pesan ini menyangkut pada kefokusan belajarku untuk bekal masa depan.

 

Dengan perlengkapan lengkap,

Seperti sirwal (celana panjang), ciput, jawrob (kaus kaki) dan juga sepatu pantopel.    Ups!  kali ini aku lupa memakai sirwal, bukan kali ini sih sebenarnya sudah berkali-kali. Namun baru ketahuan saja sekarang, padahal bila disadari aku sedang menjalankan tahun ke empat di pondok yang sama. “ziyah, kemana sirwal nya?” bentak guru BK sambal menyubit paha ku yang tidak terlapis oleh apapun. Rasa perih nya semakin mantap terasa, ku perediksi paha ku akan merah membekas dengan hitungan detik jangka pendek. Sudahlah ini namannya konsekuensi awal. “ lupa ustazah. Tadi buru-buru, janji deh gaakan ngulangin lagi .. “. Rayuku pelan sambil menunduk lesuh. Baru saja aku dimarahi oleh osis bagian ta’lim, berdesak-desak an, tergores nametag dan sekarang malah di jegat guru BK. “sekarang ustazah tanya, sirwal itu wajib di pondok dan bila yang wajib ditinggal dosa kan?” guru BK bertanya kembali dan semakin memantapkan cubitannya di pahaku.    Sakit   . hanya saja kutahan dalam batin.  “ustazah pegang janjinya, tapi tetap harus mendapat iqob (hukuman) dari ustzah sebagai pelajaran buat kamu”. Tegas guru BK. Aku  menunduk malu bila kuperhatikan kembali seragam dengan rok abuku. Malu? malu sangat. Bagaimana tidak, aku ini sudah menjadi santri SMA. Dan, aku pula seharusnya tidak melakukan hal bodoh yang sama seperti saat SMP kemarin, bahkan hal-hal bodoh lainnya yang sudah tak sepatutnya masih kulakukan dengan tingkat percaya diri yang sangat.

Dikelas aku diam, bingung.

Mengapa hari ini terlalu berbeban rasanya. Singkat ku nilai bahwa aku sedang sangat ‘lelah’.     masih pagi loh padahal. Hari ini semuanya beratakan kerena 1 hal yang selalu kulalaikan, yaitu kedisplinan. Padahal dalam kehidupan bersantri, yang perlu sangat kami tekuni adalah kedisiplinan dan adab yang di sempurnakan dengan akhlak yang mesti bertahan kokoh dalam pendirian setiap santri yang menyantri.

Pelajaran hebat.

Yang taakan dirasakan dan didapatkan anak luar di luar pondok. Langka dan perlu seharusnya ada pada setiap anak-anakyang sudah mengenal pendidikan. Dibilang tidak berpendidikan bila ia tidak mengenal baik kedisiplinan dan adab yang disempurnakan dengan akhlak.

Rasa was-was ku hadir pada saat bel istirahat di bunyikan. Tau kenapa? itu dikarenaka hukumanku berjalan pada saat jam istirahat sekarang. Yang lainnya sedang berehat, mengistirahatkan otak sehabis belajar mumet, namun apalah daya aku yang mesti menjalankan hukuman dari guru BK sepagi dahulu.

Hukumannya berpahala,

Namun sebenarnya ada rasa malu yang sambil menyelimuti ku disaat aku berdir sekarang, bersama Qur’an kecil di hadapanku. Tanganku getar getir tak terkontrol baik. Lisan ku hanya diam, namun hatiku yang rusuh bersaut-sautan panik. Keringat ku semakin mengucur secara perlahan, dikarnakan aku sendiri di tontoni berpuluh-puluh adik kelas ku. Yang tengah melihat ku tepat di bawah gedung sekolah SMP. Dan sekarang bisa kurasakan bahwa ciput ku sedang menyerap keringat panik bercampur malu yang tak tau sudah rasanya bagaimana, tak kunjung berhenti mengucur.

20 menit sudah berlalu tak sempurna.

Akhirnya keputusan hukumanku selesai dalam hitungan 20 menit 5 detik. “sudah cukup, saya harap Ziyah tidak mengulangi lagi dan pelanggaran-pelanggaran lainnya lagi, disiplin akhlak dan adab penting disini, jika merasabelum memiliki maka pelajari lalu milikilah, jika merasa sudah memiliki maka lakukan tanpa rasa sombong yang berlebih atau sekalipun itu hanya percikan .. “

Pesan ustazah BK membuatku tenang menunduk bersalah.

Aku mesti menunggu malam nanti yang akan kupijak dalam 12 jam kedepan. Ada hukuman dari osis ta’lim tentang sepagi dhuha yang baru saj dia baru tahu sepulang aku menjalankan iqob dari guru BK di bawah gedung SMP.

Pembacaan al-mulk sebelum tidur yang dibaca bersama-sama di qoah adalah pertanda sebentar lagi namaku akan di panggil untuk berdiri di depan qoah, bukan maksud osis menghukum ku begitu untuk mempermalu-malukan aku, namun agar aku menegerti dan paham begitu penting nya menghormati orang lain yang sedang berbicara dengan hanya diam, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun yang mampu mengundang emosi orang tersebut. Dengan begitu seluruh santri mampu melihat ku dengan jelas. Ini adalah pelajaran besar, pertanda aku kelak akan menjadi orang yang hebat dengan janji ‘taakan mngulangi kesalahan yang sama lagi atau bahakan yang berbeda dengan sebab yang berbeda-beda.

“ziyah! ina! berdiri di depan qoah sekarang juga!”

Bentak ta’lim.    Mati    . harapanku. Aku tak perlu di teriaki seram begini, namun dikarnakan gerak ku yang lamban, emosi sang ta’lim kembali terundang. Buruk dan benar-benar buruk. Aku menggandeng tangan Ina yang getir ketakutan. Karna masalahnya ini adalah awal kita melanggar di SMA dan langsung di permalukan aneh seperti ini. Akan kuambil pelajaran penting bersifat emas dari sini. Panikku, kuperkirakan tak sepanik apa yang dirasakan Ina sekarang. Karna yang kurasakan adalah baru saja beberapa jam yang telah lewat, aku pun juga telah terkena iqob an. Maka dari itu banyak diantara mereka kawan-kawan ku bahkan adik kelasku sekalipun, yang berbisik rusuh hingga terdengar di telinga ku yang sedang terpasang tajam dan sensitif. Memendam amarah saja yang kulakukan, sambil mengeram tangan ku yang sudah bersuhu panas dingin tak karuan. Itu kulakuan sesuai pesan mama terhadapku.  Bunyi nya santai dan tenang saat itu, sering sekali masih terngiang di kedua telinga serta pikiranku yang selalu mengulang memori pada hari itu.          “kalau sudah di pondok nanti jaga amarahnya, jangan sampai membludak kayak orang gila ..”.          Mungkin memang terdengar seperti lawakan enteng, namun sebenarnya itu adalah pesan yang sangat penuh dengan sungguh. Ada lagi yang mengundang agar keraman tanganku semakin kuat mengepal. Tau siapa?   dia diantara salah satu dari mereka santri akhir, mudabbir (pembimbing kamar) ku dahulu yang sempat rasa dendam terhadapnya.

“kepal terus, sampe tuh keringet netes .. wkwkwk .. “

Kurang ajar.  Tahan saja. Ini memang benar-benar cobaan di atas cobaan, kuatkan ya Allah. Aku menatap tajam matanya yang masih tak serius, tanpa sama sekali dendam dahulu yang ku bawa kembali. Sama sekali, walau hanya percikannya, semua sudah kubasuh bersih dengan kesabaran sebenar-benar nya dan ketulusan yang sangat.  Namun tak tau apa maksud nya, ia malah merasa ku tatap benci, dan tindakan dia adalah berdiri di depan ku yang sedang di iqob serius, padahal pembacaan al-mulk pun belum di mulai tenang, masih bersama diiringi suara gemuruh ricuh para santri.

 

“kenapa? gasuka ya ..?”

Pandangannya lurus mendangak ke wajahku yang masih berusaha tenang karena memang aku tak bersalah sedikit pun.  “kenapa harus tidak suka?”.  jawab ku tenang. Ia yang memakai kacamata besar nya semakin mendangak tak terkontrol, seperti tak terima dan merasa kurendahkan lagi, walau memang taada niatan buruk tersebut. “tuhmil anti ya! (songong kamu ya!) “ . ujarnya lagi sambil membuka kacamata besar bermerk itu.  “afwan ti, ana gaada maksud untuk mengundang amarah ukhti dengan sedikit pun kebencian”. Ini adalah tindakan ku, berbicara jujur dengan harapan taada balasan buruk darinya terhadap ku kelak.

Ia mengelus kepalaku.

Memang aneh dan agak sedikit menggelikan, namun aku tahu ini adalah respon yang baik, dan syukur lah ia tersenyum, dan kuberi tanda bahwa itu adalah pertanda maaf ku barusan sedang diterima bahkan sudah diterima dengan baik. Ia pun duduk tenang dan tetap memberi ku senyum yang sebenarnya tak kuharapkan akan sesempurna itu bentuknya, mau buat apalagi? aku hanya mampu membalas dengan tundukan hormatku tanpa berlinang air mata. Dan malah mantan mudabbir k utu lah yang menitikkan air bening penuh arti itu atas diriku. Ina yang tadi nya was-was dengan keberanian ku menjawab pembicaraan dia dan selalu melanjutkan percakaan, kini malah ikut-ikut an senyam-senyum gajelas. Ternyata semudah ini meluluhkan hati seseorang yang dahulu ku benci dengan hanya kata yang kusambung menjadi kalimat kejujuran yang bermakna baginya ternyata. Aku pun sebenarnya refleks berbicara seperti tadi. Seperti sudah ditakdirkan oleh Allah bahwa aku akan baik-baik saja jika aku bersama kejujuran dan juga keberanian yang pasti, bukan keberanian diantara kesalahan yang tak diakui. Aku mengakui atas kesalahan ku, hanya saja kini aku memperjelas kembali dan memohon maaf melalui lisan agar ia mendengar dan mengetahui bahwa aku sudah mengahapus dendam itu sejak lama. Bukan hal yang jarang sepertinya bila di pondok, tapi ntahlah jika pada kehidupan luar. Mungkin ini mampu menjadi pelajaran yang bermakna sangat. Teman-teman yang ada disamping nya mengelus-ngelus pundak nya yang masih tersendat-sendat untuk menahan rasa haru yang sangat bila di perhatikan secara seksama. Dan aku mencoba untuk melihat seluruh warga pondok (santri) yang tengah khusyuk membaca al-mulk di malam yang sunyi dan penuh pendalaman bersama.

 

Ternyata mereka tengah meperhatikan ku semua. Bayangkan saja beribu-ribu mata serius bercampur kagum yang tak jelas maksud nya apa, tertuju padaku. Bagaimana aku tak ingin tertawa, karna sebelumnya aku memang belum pernah merasakan hal hebat seperti malam ini, bahkan hari ini.

Tanpa terasa surah al mulk dengan ayat tak sempat kuhitung singkat, berakhir dengan tenang. Legah seperti yang kurasakan, lepas dari hari ini berakhir dengan suatu peristiwa hebat yang sebelumnya tak pernah kuduga akan jatuh kepada takdir hidupku, keren.

Setelah itu aku duduk kembali sebagaimana mesti nya para santri menunggu hingga selesai pembacaan al-mulk dan juga pemberitahuan lain yang mesti diketahui karna persiapan untuk esok nya. Semua kawan ku yang seharian ini ikut bersama, berpetualng aneh denganku menepuk-nepuk bangga pundakku. Namun, sebenarnya ini adalah hal baik yang menyelip diantara hal buruk yang sudah kujanjikan taakan dan tak kuusahakan akan terulang lagi. Karna pendengaranku masih tajam dan bersifat negatif, jadi aku masih mendengar biskanteman-temaku yang sedang membicarakan mantamn mudabbir ku yang baru beberapa menit yang lalu melakukan hal aneh terhdapku, tanpa diluar dugaan. “ternyata gitu doang nangis,”   “iya ternyata dia cemen ..”  “itu lagi si Ziyah mau aja di eluas-elus, “   “iya ih,najis.”    Menyangka atau tidak itu adalah perkataan temanku sendiri yang secara tidak langsung, merendahkanku juga. Aku menoleh ke arah mereka yang tepat dibelakang ku, mungkin mereka tak sadar kalua aku ada tepat didepan mereka. Kuusahakan hanya engan senyum,dan bertanya tenang “ adaapa? Yang sedang ada masalah nya itu ana, jadi jika kalian ingin menambahkan masalah ana, ana harap itu tidak terjadi, dan jangan pula meremehkan dan merendahkan dia, walau dia sudah menjadi mantan mudabbir kita ..” ujarku, aku kembali memutar kepala ku menghadap ke depan. Tak kulanjutkan lagi bagaimana ekspresi wajh mereka yang terjadi setelah ku beritahu begitu, yasudah ini urusanku, sebenarnya mereka tidak usah repot-repot untuk ikut bergabung dalam masalahku.

Berlanjut ternyata.

Kukira sudah berakhir cerita tentang hari ini dngan kejadian tadi. Ternyata belom, masih ada lagi.  “panggilan ini di tujukkan pada Ziyah Nurul Syifa, ditunggu kehadiranya di annisa dua, setelah pengumuman ini tepat. Sekali lagi … “. percaya atau tidak, annisa dua adalah kamar para ustazah pengasuhan. Tanpa berpikir negatif aku keluar qoah dan berjalan menuju annisa dua dengan kepercayaan diri yang sangat. Aku menghapus pikiran-pikiran buruk tentang pengasuhan. Semua ku anggap tidak akan terjadi padaku. Positif, positif, positif dan positif.

Sampai di depan annisa dua, aku berzikir memastikan bahwa hanya ada kabar baik yang akan kuterima. Nth mengapa ketika baru melihat pintu nya saja, pikiran ku melayang aneh kembali. Dan hingga sesaat kemudian bukan aku yang membuka atau mengetuk. Namun ustazah pengasuhan. Dan aku langsung disambut dengan pelukan hangat yang memastikan bahwa ini adalah pertanda bahwa aku tidak pada keadaan yang baik-baik saja, tapi sedang bergoyang dlam haru yang sangat. Tapi kuharapkan, yang kupikirkan beberapa detik yang lanu itu salah.

“adaapa ustazah?”

Tanyaku memastikan agar yang kudapati bukan lah kabar negatif yang tidak kuharapkan dari tadi, dan pasti akan berhasil membuat ku stress setengah mati. Matanya berbinar haru menatap ku. Ah, bagaimana ini? kelemahanku ini adalah tidak mampu melihat orang menangis haru. Apalgi ustazah yang didepanku sekarang ini benar-benar yang menangis haru hingga matanya pun ikut berganti warna menjadi merasa. Hidung mancung nya yang diam-diam kuperhatikan pun menjadi merah pula. Dan napas nya yang tersendat macet. Aku yang tak mampu menahan, akhirnya ikut menangis juga, walau tidak mengetahui sebabnya kenapa.

“mari kita doakan bersama untuk, ayah dari kawan kita Ziyah Nurul Syifa yang sedang sakit, semoga diangkat penyakit nya dan dipuluhkan seperti sediakala, alfatihah …”

Aku menangis sejadi-jadinya. Mendengar pengumuman yang kudengar dari qoah menyeluncurkan gelintir asin air mata ku. Ayah? mengapa bisa? memang nya sakit apa yang merasuk pada tubuh ayah? sampai-sampai ustazah pengasuhan dihadapanku sekarang ini menangis haru.

“boleh ana bertanya ustazah? sakit apa yang membuat ayah Ziyah jatuh sakit melemah?”   ujarku penuh harap dengan menahan haru yang dalam hingga sakit kurasa. Ustazah menarik napas panjang, lalu memberanikan untuk mengucap.  “ayah Ziyah, terkena penyakit katarak, jadi kita doakan sama-sama ya, semoga ayah Ziyah tetap dalam lindungan Allah ..”. jelasnya mulai tenang. Aku menelan sepahit-pahit nya pengakuan dan kejujuran dari lisan ustazah yang tahu akan tentang ini. Aku menunduk dalam haru yang merasuk sangat. Diluar kesadaran yang pasti, aku tumbang dan oleng tak sadarkan diri.

Sadar dan langsung menangis kembali.

Hanya pingsan yang singkat. Dan bukan separah-parahnya pingsan. Aku menangis sejadi-jadi nya. Alasannya karena aku memimpikan ayah. Ayah yang baru kudengar kabar nya bahwa ia tak sanggup melihat indahnya dunia lagi. Ina mendekat kepada ku, teman yang baik akan mengusap air mata kawannya bila kawannya sedang bersedih begitu pendapatku. Dan ya memang benar, Ina adalah kawan yang baik, dia mengusap air mata ku dan menguatkan ku, tanpa bertanya kenapa aku menangis, alsannya karna dia tahu bahwa aku tidak suka bila di tanya, aku bisa bercerita sendiri. “Ina, Ziyah sedih”.  “ iya, Ina mengetahui apa yang sedang dirasakan Ziyah saat ini kok.” Tegar nya mengelus punggung ku. “Ina perlu mendengarkan cerita Ziyah,”  “silahkan jika memang harus didengarkan”.  Jelasnya merangkul tubuh ku yang kurasa suhu nya menjadi panas dingin tidak karuan. Sudah bisa kubayangkan, mataku sedang bengkak bagai kaki gajah yang tidak pernah terukur berapa besar nya, hidung yang semakin mengendus tersendat dikarnakan hingus yang baru mulai mencair dan malah membeku di dalam, suara ku pun terdengar haru sekali.

“ayah Ziyah bukan sedang sakit yang biasa”.  “lalu apa?”. aku menangis dahulu. Dan Ina tetaplah setia menunggu pernyataan ku atas cerita yang ingin kujelaskan. “ayah Ziyah katarak naa …” . ia refleks memeluk erat, jantung nya kurasakan berdegup kencang, walau posisi nya ia tidak sehabis lari maraton 5 kilometer. “ ziyah yang sabar ya, Allah punya rencan pada setiap makhluk yang Ia ciptakan. Mungkin dibalik ini semua, ada hikmah penting yang dapat Ziyah jadikan bekal untuk masa depan kelak nanti.”  Ia memang tergolong teman yang sangat puitis, dan hitungannya sama pula denganku. Teman ku yang gembul ini bisa di jadikan apapun. Dan dia akan siap kapan pun untuk aku, teman yang seringnya hanya menyusahkan setangah hidup nya. Dan aneh nya dia selalu merasa tegar padahl latar belakng dia bukan dari keluarga yang bahagia. Bisa kurincikan dia adalah anak yang lahir dan memang sudah di takdirkan menjadi anak yang mandiri dengan segala-gala nya, dan seada-adanya. Dia mampu mencakup dan menyempurnakan segalanya, merangaki serat menyelimuti seluruh hal yang memberatkan dia tanpa ada memperlihatkan kesedihan yang dalam atau hanya dangkal dengan kebahagiaan yang di seluruhkan dalam ruang sedih nya. Keputusan dia adalah “ana gapernah ngasih ruang sedih di hati, jangan pernah ngasih kesempatan ke sedih untuk nempatin ruang sedih yang masih kosong ataupun ruang bahagia sekalipun.”  Keputusan yang dia ujar saat itu di pendengaran ku, selalu ku ingat di benak dan kujadikan motivasi penyemangat hidup ku, dan sekarang juga.  JANGAN BERI RUANG UNTUK SI SEDIH.

“ana mimpi, ayah sedang berpesan pada ana, bunyi nya ‘jangan lupa menjaga kedisiplinan, adab yang diselimuti akhlak serta kejujuran…’ padahal baru saja semua pesan itu terjadi dalam hari ini”.  “kalau begitu jangan pernah berpikiran untuk mengulangi nya lagi dan berjanji agar mengamalkan hal kebaikan yang telah diajarkan ayah Ziyah”.  Aku mengangguk lesuh.

Esok yang sangat kutunggu datang juga akhirnya.

Karena rasa penasaran yang meningkat kuat di raga ku, tentang hal kabar ayah yang belum kuhubungi dari kemarin. Gagang telpon kupegang getar, harus bisa. Jangan beri ruang sedih.

“ assalamualikum ayah ..”. ujarku memulai pembicaraan. Suara yang kunantikan belum terdengar. Yang terdengar masih suara ricuh yang masih sibuk pada kegiatan masing-masing. Aku menunggu sambil mengikuti apa permintaan air mata ku, yang sudah mendorong-dorong rasa ku agar selalu terundang untuk menitikkan air mata rindu. Suara ayah terdengar. “waalaikusalam, apakabar?”. suara nya terasa sekali bahwa ia sedang menahan kebutaan penglihatan, tapi tidak pada kebutaan hati nya yang masih terasa getarannya hingga pada ku. “baik ayah, syukur baik, bagaimana dengan ayah?”.  “ayah baik, hanya saja sekarang hidup ayah terasa gelap tak berwarna”. Titikkan air mata ini menjadi seperti garis-garis tanpa alur hasil gambaran anak TK. Aku diam tak berucap, menjauhkan gagang telpon dari jangkauan mulut ku yang sedang haru menangis, karena aku tak ingin terdengar sedih. “ ayah… Ziyah kangen…”, Suara desah tangis ku meledak di penyalur suara antara aku dengan ayah. Ayah aku rindu, rindu sangat. Ziyah ingin memeluk dan mengugkap segala hal yang belum sempat Ziyah ungkap kepada ayah,ayah! Rasakanlah, hati Ziyah sedang berbicara, dengarlah ayah.

“ayah tau Ziyah kangen, asal Ziyah tau, ayah mampu kangen melebihi batas maksimal Ziyah kangen ke ayah” . ujarnya menjelaskan dengan sedikit mengungkap seperempat dari hati nya yang belum pernah kudengar terucap sebelumnya dari lisan jujur nya. Ayah. “ziyah nanti jika ayah datang jangan menghindar dan malu,”. pesan ayah sudah mulai terdengar aneh ,dan pertanda ayah segera akan membongkar kegelapan yang ia rasakan sekarang. “ziyah gaakan malu dan gaakan menghindar, ayah kan hero Ziyah”. Jawabku berusah tegar. Memang aku ini masih bersifat seperti bocah ingusan yang bisa nya hanya datang untuk meminta menghapuskan ingus yang dari tadi mengucur kental. Suara ku sudah tertebak seperti orang yang menangis haru dengan pendalaman hingga dasar kesedihan. “ayah katarak Ziyah, disebabkan oleh kerinduan yang berlebih terhadap Ziyah”. Ayah benar-benar berkata jujur. Tak kusangka katarak ayah yang membuat ku sedih ini disebabkan oleh aku, aku yang sedang merindukan ayah. Seberapa rindukah ayah terhadapku? hingga-hingga penglihatannya harus menggelap dan membutakan seluruh alam semesta yang indah ini, demi aku yang sudah dianggap lebih dari keindahan semesta alam. Ayah .

Ayah datang menjengukku.

Dihari esok nya setelah aku menghubungi nya lewat wartel pondok, yng di gratiskan dengan arti aku dibayari oleh mantan mudabbir ku. Ia bilang aku masih menjadi tanggung jawabnya hebat sekali semua berubah menjadi baik dalam sekejap. Aku melihat ayah yang tengah menunduk sambil menunggu yakin diriku. Dari kejauhan aku melihat rambut ayah yang sudah mulai memutih tua, penglihatannya yang masih ia sembunyikan dengan kacamat biasa agar seakan-akan penglihatannya baik-baik saja. Kaus yang diapaki terihat memang masih layak, celana nya pun sama. Wajah nya seakan-akan benar sangat kurindukan. Sangat. aku menghampiri perlahan, sebenarnya ingin berlari, hanya saja kulihat banyak genangan air lumpur, dan aku tak ingin ayah terkena noda tak baik.

“ayah ..”

Sambutku memeluk hangat. Terbayar sudah berjuta bunga rindu yang kembali semakn memekar berbarengan. Jantung ayah melemah, kupandang awajah nya hanya tersenyum indah, dan sangat indah. Ini adalah sanyum sempurna yang baru kulihat, terpancar asli dari wajah ayah, ayah ku yang dahulu mengajarkanku tentang penting nya menebarkan senyum bahagia. Ternyata memang benar ini adalah keistimewaan senyum yang diseluti kebahagiaan yang hadir asli dari perasaan penuh beratas nama RINDU.

“ayah, lihat Ziyah agar ayah pulih” tegur ku kepada ayah yang duduk disampingku. Aku bersender melas di bahunya. “ayah bisa sembuh dengan hanya merasakan, ayah sudah sembuh semenjak Ziyah menelpon,”. jelasnya.  Aku terkejut tak percaya. Aku memandang kagum matanya, ternyata benar, benar sudah pulih. Kehebatan diluar jangkauan pikiran dangkal ku. Yah sembuh dengan hanya merasakan. Aku sayang ayah. “bagaimana bisa ayah?”.  “ayah, akan buta lagi, sebentar lagi, Ziyah berkediplah ..”  pinta ayah. Hanya di perintah untuk berkedip siap yang tak ingin? aku berkedip maka ayah pun juga berkedip, aku melihat ayah, namun ayah tak melihat aku. Ayah tak sadarkan diri. Bahaya. Aku yakin ini buka akhir, bukan. Allah, dengarlah serta salurkan lah aku dengan ayah. Bisikku dalam lubuk hati haru yang kembali pecah kembali. Mana mungkin ayah bisa hilang dengan hanya berkedip. Ayah ayo bangunlah. Taada jawaban. Yang kupandang sekarang adalah malaikat dunia ku dengan senyum manis dan beberapa pesan singkat yang bertujuan agar aku merasakan dan memiliki masa depan yang baik. Yaitu, kedisiplinan, adab yang diselimuti dengan akhlak dan juga kejujuran yang pasti. Semua tersangkut dalam 1 hari, 24 jam,1.440 menit, 86.400 detik. Aku mendapatkan semua nya secara bertuntun tak terduga, bersama juga langsung kepergian ayah yang mengajarkanku tentang pentingnya meikhlaskan segala hal yang taakan kekal. Arti dari semua maksud dan pesan ayah selama bertahun-tahun aku belajar, memahami, mengetahui hal yang sebelumnya belum kuketahui di pondok adalah biji yang sekarang sudah tumbuh menjadi pohon yang selalu tumbuh pesat. Semua hasil dari pembelajaran hentakkan kaki panik, osis ta’lim yang menghitung cepat, Ina kawan gembul, desak-desak an, tergores nya tangan, guru BK, mantan mudabbir dan yang terakhir kepergian ayah. Semua brarti dan menyangkut dalam kesuksesanku sekarang. Menjadi penulis yang sedang mencoba menerbitkan beberapa cerita karangan angan-angan. Bangkit jatuh kembali mesti bangkit lagi. Ini kisah ku dibalik kesuksesanku sekarang, menjadi wanita hijrah yang bergelar sarjana hukum serta penulis internasional yang membuka perpustakaan umum gratis dan juga memiliki pabrik keju.

-THE END-

 

.amin.

Ini hanya cerita nyata yang sedikit ditambahkan fiktif belaka dengan impian yang nyata.

-goodumbrella

Tinggalkan komentar